PENJELASAN TENTANG TOBAT DAN TALQIN

AL ALAMUL IMAN | PENJELASAN TENTANG TOBAT DAN TALQIN



Ketahuilah bahwa martabat-martabat yang telah dijelaskan dalam Pasal 4 itu, tidak akan diperoleh kecuali dengan tobat yang sebenar­ benarnya dan menerima talqin dari ahlinya. Allah SWT berfirman,

"Dan (Allah) mewajibkan kepada mereka tetap taat menjalankan kalimat takwa." (QS. AI-Fath [48]: 26) 

Maksud dari kalimat takwa pada ayat di atas ialah kalimat La Ilaha Illallah. Kalimat takwa inilah yang dimaksud dengan talqin. Kalimat talqin ini bisa diambil dengan syarat dari orang yang kalbunya bertakwa sempurna dan suci dari segala sesuatu selain Allah SWT. Jadi, bukan sekadar kalimat La llaha Illallah yang diambil dari mulut orang awam. Meski lafadznya sama, tetapi bobotnya berbeda. Bibit Tauhid yang hidup tentu saja diambil dari kalbu yang hidup, sehingga bibitnya berkualitas. Sedangkan, bibit yang tidak berkualitas tidak akan dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, kalimat tauhid yang diturunkan dalam Al-Qur'an memiliki dua makna. Pertama, kalimat tauhid, La Ilaha Illallah yang memiliki makna lahir saja. Seperti dalam firman Allah SWT,

"Apabila dikatakan kepada mereka, La Ilaha Illallah mereka me­nyombongkan diri." (QS. Ash-shaffat [37]: 35) 

Kalimat La Ilaha Illallah yang dimaksud dalam ayat ini merupakan hak bagi orang awam. Kedua, kalimat tauhid, La Ilaha Illallah, yang disertai dengan ilmu hakikat. Allah SWT berfirman,

"Ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan mohonlah ampun bagi dosamu dan bagi (dosa) orang­orang mukmin, lelaki dan perempuan." (QS. Muhammad [47]: 19)

Ayat ini menjadi Sababun Nuzul bagi adanya talqin dzikir untuk orang-orang khusus yang ingin wushUl kepada Allah SWT.




Sebagaimana yang diungkapkan pengarang Kitab "Bustan Asy­Syari'ah",

"Orang yang pertama kali menginginkan jalan terdekat kepada Allah, terunggul, tetapi termudah melalui Nabi SAW ialah Ali bin Abi Thalib RA. Ketika Sayyidina Ali RA meminta, Rasulullah tidak.langsung menjawab tetapi menunggu wahyu. Maka, datanglah jibril dan menalqinkan kalimat La llaha Illallah 3 kali dan Nabi mengucapkannya tiga kali. Selanjutnya, Nabi SAW mengucapkan seperti yang diucapkan jibril. Kemudian menalqin Ali, lalu mendatangi para Sahabat dan menalqin para Sahabat secara berjamaah."


Nabi SAW bersabda,

"Kita telah kembali dari perang kecil menuju perang besar yakni perang melawan hawa nafsu." (HR. AI-Baihaqi) 

Rasulullah SAW juga bersabda,

"Musuhmu yang paling utama ialah nafsumu yang berada di antara kedua lambungmu." (HR. AI-Baihaqi)


Dan, mahabbah kepada Allah SWT itu tidak akan tercapai, kecuali setelah engkau melumpuhkan musuh-musuh yang ada di dalam wujudmu. Seperti halnya, nafsu amarah, nafsu lawamah, dan nafsu mulhamah. Setelah terlumpuhkan maka bersihlah dirimu dari sifat­sifat bahimiyah (binatang jinak) yang tercela, seperti mencintai banyak makan, minum, tidur dan bercanda yang berlebihan. Bersih juga dirimu dari sifat-sifat sabu'iyyah (binatang buas), seperti marah, mencaci, memukul, memaksa. Juga, bersih dari sifat syaitaniyah (sifat-sifat setan), seperti sombong, ujub, hasad, dengki, dendam, dan dari sifat-sifat badan dan kalbu yang tercela lainnya.


Perumpamaan orang yang tobat dari dosa lahiriah saja adalah seperti orang yang memotong rumput tapi hanya di batangnya saja. Dia tidak mau berusaha mencabut dari akarnya. Maka, pasti nantinya akan tumbuh kembali, bahkan lebih lebat dari sebelumnya. Berbeda dengan orang yang bertobat secara sung­guh-sungguh dari dosa akhlak-akhlak buruk. Ia seperti orang yang mencabut rumput hingga akar-akarnya. Maka, dapat dipastikan ia tidak akan tumbuh lagi, kalaupun ada itu termasuk kasus yang langka. Adapun posisi talqin di sini (sebagaimana orang memotong rumput) adalah alat untuk "memotong" segala sesuatu selain Allah SWT dari kalbu orang yang di-talqin. Seperti yang kita ketahui, orang yang tidak mau "memotong" "pohon pahit" (tidak mau menempuh perjalanan pahit) tidak akan merasakan "pohon manis". Berpikirlah, wahai manusia yang memiliki pandangan kalbu. Semoga engkau berbahagia (dan wushUl kepada Allah). Allah SWT berfirman, 

"Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan." (QS. Asy-SyUra [42]: 25) 
Allah SWT juga berfirman, 

"Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh maka kesalahan mereka diganti oleh Allah dengan kebaikan." (QS. AI-Furqan [25]: 70)



Tobat pun pada dasarnya terbagi menjadi dua macam, yaitu tobatnya orang awam (taubat al-'amm) dan tobatnya orang khawwash (taubat al-khash). Taubat al-'amm adalah berhentinya seorang hamba dari berbuat dosa kembali menjalankan ketaatan; dari sifat tercela kepada sifat terpuji; dari jalan neraka ke jalan surga; dari mengikuti kemauan jasad kembali melatih diri dengan dzikir dan melakukan perjalanan 'ubudiyah sekuat-kuatnya.

Adapun taubat al-khash adalah tobatnya seorang hamba setelah mampu menjalani taubat al-'amm. Yakni tobat dengan meninggalkan amal-amal baik ke amal-amal tingkat makrifat; meninggalkan amalan derajat kepada amalan al-qurbah; dari kenikmatan jismani kepada kenikmatan ruhani. Inti dari tobat ini adalah fokus untuk meninggalkan sesuatu selain Allah SWT; fokus agar bisa bermesra-mesraan (unsiyah) dengan Allah SWT dan melihat Allah SWT dengan pandangan yakin. 

Semua hal yang ditinggalkan tadi adalah kasbul wujud (ainalan­amalan jismani). Sedangkan, bagi orang-orang yang ingin wushu I pada Allah SWT, kasbul wujud adalah termasuk dosa. Sebagaimana disebutkan dalam Hadis Qudsi: 

"Keberadaanmu itu adalah dosa yang tidak bisa dibandingkan dengan dosa apapun." 

Oleh karena itu, janganlah menambah lagi dengan dosa yang lain. Para sufi besar berkata,

"Segala kebaikan manusia di kelas al-abrar adalah keburukan di kelas orang-orang yang ahli qurbah." 

Makanya, Nabi SAW selalu beristigfar setiap hari 100 kali. Allah SWT berfirman,

"Mohon ampunlah atas dosamu." (QS. Muhammad [47]: 19) 

Yang dimaksud dengan dosamu pada ayat di atas adalah dosa karena keberadaanmu. Tobat di tingkat inilah yang disebut inabah (kembali), karena hakikat inabah adalah kembali dari selain Allah SWT kepada Allah SWT dan meniti tangga al-qurbah menuju alam terakhir (Alam Lahut) untuk melihat Dzat Allah SWT.





Nabi SAW bersabda,

"Sesungguhnya, Allah mempunyai hamba-hamba yang jasadnya di bumi dan kalbunya di bawah 'Arasy." 

Adapun melihat kepada Allah SWT (ru'yatullah) di dunia tidak akan berhasil. Yang dapat dilihat di dunia adalah sifat-sifat Allah SWT dari cermin kalbu. Sayyidina Umar bin AI-Khaththab berkata,

"Kalbuku melihat Tuhanku dengan cahaya Tuhanku." 

Kalbu manusia akan melihat pantulan jamalullah dari cermin kalbunya. Sebagaimana ungkapan pengarang, "AI-Mirshad",

Semua hati laksana bunga yang sedang berkembang 



Semua jiwa seperti barisan burung yang terbang bebas





Musyahadah seperti yang digambarkan Umar bin Al-Khaththab itu, tidak dapat dicapai kecuali melalui talqin dari seorang Syekh yang telah wushUl kepada Allah SWT dan dia diterima. Juga termasuk dari "As-Sabiqin" yang mana mereka ditempatkan di bumi untuk menyempurnakan orang yang masih kurang (naqishin), dengan perintah Allah SWT melalui Nabi SAW. Adapun para wali, diutus Allah SWT kepada orang-orang tertentu (al-khawwash) bukan kepada orang awam. Sedangkan, Nabi SAW diutus kepada orang­orang awam sekaligus orang-orang khusus (al-khawwash) dengan membawa syariat sendiri dari Allah SWT.



Adapun Wali Mursyid diutus bagi orang khusus (al-khawwash) saja, tapi tidak membawa syariat sendiri. Sehingga ia tidak bisa menjalankan tugasnya kecuali dengan mengikuti syariat Nabi SAW. Jadi, kalau seorang wali mengaku membawa syariat sendiri, maka kufurlah ia. Nabi SAW bahkan mengumpamakan para ulama dari umatnya sejajar dengan para nabi dari Bani Israil. Hal itu karena, para nabi Bani Israil mengikuti syariat nabi yang diutus yaitu Musa AS. Bahkan, para ulama dari umat N abi SAW melakukan perubahan yang sifatnya penguatan-penguatan dalam masalah hukum, tanpa harus membuat syariat baru. 

Begitu pula ulama umat Nabi Muhammad SAW dari kalangan para wali. Mereka diutus kepada orang-orang khusus (al-khawwash) untuk menghidupkan kembali perintah-perintah agama, larangan­larangannya, menguatkan amal ibadah dan membersihkan ahli syariat (dari dosa-dosa akhlak buruk). Fokusnya adalah kalbu sebagai tempat makrifat. Para wali memberitahu orang lain dengan ilmu dari Nabi SAW, seperti Ash-habus-Suffah yang sudah berbicara tentang rahasia Mikraj sebelum Nabi SAW memberitahu.

Adapun wali adalah pengemban wilayah kenabian yang merupakan bagian dari kenabian. Sedangkan, batinnya adalah amanah bagi dia. Dan, yang dimaksud dengan waratsatul anbiya' bukan hanya sekadar ulama yang memiliki ilmu lahir. Walaupun ilmu lahir adalah warisan Nabi SAW, tetapi ia sederajat dengan Dzawil Arnam dalam ilmu waris. Sedangkan, yang dimaksud dengan Pewaris Sempurna sederajat dengan anak kandung dalam ilmu waris dan anak kandung adalah asabah terdekat. Anak kandung adalah rahasia ayah, lahir maupun batin. Nabi SAW bersabda,

"Ada ilmu yang seperti tiram (tersembunyi). Hanya orang-orang yang mengenal Allah yang mengetahuinya. Bila mereka berbicara, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang bodoh." (HR. Ad-Dailami)

Inilah sirri yang dititipkan pada kalbu Nabi Muhammad SAW saat Mikraj yakni di dalam batinnya yang terdalam yang terdiri dari 30 ribu lapisan. Nabi SAW tidak memberikan sirri itu kepada orang awam, tetapi hanya diberikan kepada Sahabat-sahabat yang terdekat dan Ash-habus Suffah. Mereka adalah orang-orang yang diridhai Allah SWT dan semoga Allah SWT memberikan manfaat kepada kita dengan keberkahan mereka dan memenuhi kita dengan kebajikan dari kebaikan mereka, amin. Dengan barakah sirri tersebut, syariat pun dapat tegak hingga Hari Kiamat. Dan, hanya ilmu batin saja yang menunjukkan sirri itu, sedangkan semua ilmu dan pengetahuan lahir adalah kulit dari sirri tadi.


Adapun ulama lahiriah, mereka adalah pewaris Nabi SAW yang posisinya sama dengan Ash-habul Fuffidh. Sebagian posisinya sama dengan 'ashabah, dan sebagiannya lagi sama dengan dzawil arham dalam ilmu waris. Mereka mewakili penyebaran ilmu-ilmu yang bersifat kulit untuk berdakwah di jalan Allah SWT dengan nasihat yang baik.



Adapun para Syekh dari Ahlu Sunnah-yang memiliki silsilah hingga pada Ali bin Abi Thalib-, mereka mengemban sumber dari berbagai ilmu untuk berdakwah di jalan Allah SWT dengan hikmah. Pendapat mereka tentang akidah adalah satu, sedangkan dalam masalah cabang berbeda-beda. Sebagaimana firman Allah SWT,

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang, baik." (QS. An-NahI (16): 125) 

Tiga unsur dakwah yang terkandung pada ayat di atas (hikmah, pelajaran yang baik, dan berbantah dengan cara yang baik), terkumpul dalam diri Nabi Muhammad SAW. Tidak ada satu pun orang yang memiliki ketiga unsur itu secara keseluruhan selain beliau. Oleh karena itu, ilmu dibagi tiga (tiap orang memiliki peran
masing-masing di dalamnya). Pertama, Ilmu Hal (ilmu perilaku) yang merupakan pusatnya ilmu yang diberikan kepada rijalullah., Semangat para rijalullah adalah dengan ilmu tersebut. Nabi SAW bersabda,

"Semangat rijalullah mampu mencabut gunung." 

Adapun yang dimaksud dengan mencabut gunung adalah mencabut kerasnya kalbu. Sifat kerasnya kalbu akan hancur dengan doa dan tadharru' mereka. Allah SWT berfirman, 

"Dan barangsiapa yang diberi hikmah maka sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak." (QS. Al-Baqarah (2): 269) 

Kedua, adalah ilmu yang merupakan kulit dari sumber ilmu tadi. Ilmu ini diberikan kepada ulama lahir. Cara penyampaian ilmu tersebut adalah dengan nasihat baik (mau'izhah hasanah). 
Rasulullah SAW bersabda,

"Orang alim memberi nasihat dengan ilmu dan adab. Sedangkan, orang bodoh memberi nasihat dengan pukulan dan marah." 

Ketiga, adalah ilmu yang merupakan kulitnya kulit. Ilmu ini diberikan kepada negarawan dalam bentuk sikap adil dalam memerintah. Allah SWT berfirman,

"Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS. An-NahI [16]: 125) 


Umara memiliki kemampuan memaksa dan mereka mampu menjadi penjaga aturan agama. Mereka adalah seumpama kulit hijau dari buah pala. Adapun ulama lahir adalah ibarat kulit pala yang berwarna merah (setelah kulit hijau dikupas). Sedangkan ilmunya ulama batin adalah substansi dari al-maqshud, seperti dagingnya pohon. Ini merupakan intinya. Oleh karena itu, Nabi SAW bersabda,

"Bergaullah dengan para ulama dan mendengar nasihat-nasihat para hukama karena dengan cahaya hikmah, Allah SWT meng­hidupkan kalbu yang mati sebagaimana Dia menghidupkan bumi yang mati dengan air hujan." (HR. AI-Haitsami) 

Rasulullah SAW bersabda,

"Satu kalimat mengandung hikmah merupakan sesuatu yang hilang dari ahli hikmah. Ia akan mengambilnya bila mene­mukannya." (HR. At- Turmudzi) 




Adapun kalimat yang keluar dari lidah orang awam itu turun dari LauhuI Mahfudz. LauhuI Mahfudz adalah Alam ]abarut; ini termasuk dalam kategori "derajat". Sedangkan, kalimat-kalimat yang keluar dari rijalullah (orang-orang yang wushU/) turun dari LauhuI Akbar dengan lisan al-qudsi tanpa perantara dari Alam AI­Qurbah.

Segala sesuatu itu harus dikembalikan kepada asalnya. Oleh karena itu, hukum mengambil talqin untuk menghidupkan kalbu adalah wajib. Nabi SAW bersabda,

"Mencari ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah." (HR. Ibnu Majah) 

Adapun yang dimaksud dengan ilmu pada hadis tersebut adalah Ilmu Makrifat dan Ilmu AI-Qurbah. Adapun ilmu-ilmu selain itu, yakni yang bersifat lahiriah, diperlukan untuk melakukan ibadah-ibadah fardhu saja. Al-Ghazali berkata,

"Hidupnya kalbu adalah dengan ilmu maka galilah # 

Matinya kalbu adalah karena kebodohan makajauhilah. 
Tujuan terbaikmu adalah takwa maka berbekal/ah dengannya # 
Cukup bagimu apa yang kunasihatkan ini maka jadikanlah ia sebagai nasihat." 


Sebagaimana firman Allah SWT;

"Karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa." (QS. AI­Baqarah [2]: 197) 

Berdasarkan ayat di atas, maka maksud dari ridha Allah SWT adalah Dia membawa hamba-Nya ke Alam AI-Qurbah tanpa me­ngembalikannya lagi kepada derajat atau surga. Allah SWT ber­firman, 

"Aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan." (QS. Asy-Syura [42]: 23) 

Menurut salah satu pendapat, kata al-qurba pada ayat tersebut bermakna Alam AI-Qurbah.[]